Dalam
tulisan ini saya membuat beberapa kalkulasi tentang jumlah uang yang
masuk karena penjualan BBM dan uang yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi dan mengadakannya. Hasilnya pemerintah kelebihan uang.
Mengapa dikatakan pemerintah harus mengeluarkan uang untuk memberi
subsidi, sehingga APBN-nya jebol. Dan karena itu harus menaikkan harga
BBM yang sudah pasti akan lebih menyengsarakan rakyat lagi setelah
kenaikan luar biasa di tahun 2005 sebesar 126%.
Mari kita segera saja melakukan kalkulasinya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Ani) memberi keterangan kepada Rakyat Merdeka yang dimuat pada tanggal 24 April 2008.
Angka-angka
yang dikemukakannya adalah angka-angka yang terakhir disepakati antara
Pemerintah dan DPR, yang sekarang tentunya sudah ketinggalan lagi.
Maka dalam
perhitungan yang saya tuangkan ke dalam tiga buah Tabel Kalkulasi saya
menggunakan angka-angkanya Menteri Ani yang diperlukan untuk mengetahui
berapa persen bagian bangsa Indonesia dari minyak mentah yang
dikeluarkan dari perut bumi Indonesia. Berapa jumlah penerimaan
Pemerintah dari Migas di luar pajak. Jadi yang saya ambil angka-angka
yang masih dapat dipakai walaupun banyak angka yang sudah ketinggalan
oleh perkembangan, seperti harga minyak mentahnya sendiri. Angka
kesepakatan antara Pemerintah dan Panitya Anggaran harga minyak masih
US$ 95 per barrel. Sekarang sudah di atas US$ 120. Saya mengambil US$
120 per barrel.
Keseluruhan data dan angka yang menjadi landasan kalkulasi saya tercantum dalam tabel-tabel kalkulasi yang bersangkutan.
Setiap Tabel kalkulasi sudah cukup jelas. Untuk memudahkan memahaminya, saya jelaskan sebagai berikut.
Menteri Ani antara lain mengemukakan bahwa lifting (minyak mentah yang disedot dari dalam perut bumi Indonesia ) sebanyak 339,28 juta barrel per tahun. Dikatakan bahwa angka ini tidak seluruhnya menjadi bagian Pemerintah. (baca : bagian milik bangsa Indonesia).
Kita mengetahui bahwa 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh
perusahaan-perusahaan minyak asing. Maka mereka berhak atas sebagian
minyak mentah yang digali. Berapa bagian mereka? Menteri Ani tidak
mengatakannya. Tetapi kita bisa menghitungnya sendiri berdasarkan
angka-angka lain yang dikemukakannya, yaitu sebagai berikut.
Menteri Ani memberi angka-angka sebagai berikut.
Lifting : 339,28 juta barrel per tahunHarga minyak mentah : US$ 95 per barrel
Nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$
Penerimaan Migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun.
Dari
angka-angka tersebut dapat dihitung berapa hak bangsa Indonesia dari
lifting dan berapa persen haknya perusahaan asing. Perhitungannya
sebagai berikut.
Hasil Lifting dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x Rp. 9.100 = Rp. 293,31 trilyun.
Penerimaan
Migas Indonesia : Rp. 203,54 trilyun. Ini sama dengan (203,54 : 293,31) x
100 % = 69,39%. Untuk mudahnya dalam perhitungan selanjutnya, kita
bulatkan menjadi 70% yang menjadi hak bangsa Indonesia.
Jadi dari
sini dapat diketahui bahwa hasil lifting yang miliknya bangsa Indonesia
sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya 339,28 juta barrel per tahunnya,
milik bangsa Indonesia 70% dari 339,28 juta barrel atau 237,5 juta
barrel per tahun.
Berapa
kebutuhan konsumsi BBM bangsa Indonesia? Banyak yang mengatakan 35,5
juta kiloliter per tahun. Tetapi ada yang mengatakan 60 juta kiloliter.
Saya akan mengambil yang paling jelek, yaitu yang 60 juta kiloliter,
sehingga konsumsi minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan
dengan produksinya.
Produksi yang haknya bangsa Indonesia : 237,5 juta kiloliter.
Konsumsinya
60 juta kiloliter. 1 barrel = 159 liter. Maka 60 juta kiloliter sama
dengan 60.000.000.000 :159 = 377,36 juta barrel.
Walaupun
kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang dikatakan Menteri Ani
tentang harga minyak mentah US$ 95 per barrel, saya ambil US$ 120 per
barrel.
Walaupun
kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri
Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000
per US$.
Hasilnya seperti yang tertera dalam Tabel
III, yaitu Pemerintah kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,71 trilyun,
walaupun dihadapkan pada keharusan mengimpor dalam memenuhi kebutuhan
konsumsi rakyatnya. Produksi minyak mentah yang menjadi haknya bangsa
Indonesia 237,5 juta barrel. Konsumsinya 60 juta kiloliter yang sama
dengan 377,36 juta barrel. Terjadi kekurangan sebesar 139,86 juta barrel
yang harus dibeli dari pasar internasional dengan harga US$ 120 per
barrelnya dan nilai tukar diambil Rp. 10.000 per US$. Toh masih
kelebihan uang tunai.
Apalagi
kalau kita merangkaikan semua data kesepakatan terakhir antara
Pemerintah dengan Panitya Anggaran DPR. Seperti yang diungkapkan oleh
Menteri Ani kepada Rakyat Merdeka tanggal 24 April yang lalu
kesepakatannya adalah sebagai berikut.
Lifting : 339,28 juta barrel per tahunHarga : US$ 95 per barrel
Nilai tukar : Rp. 9.100 per US$
Penerimaan Migas di luar pajak : Rp. 203,54 trilyun.
Kalkulasi tentang uang yang harus dikeluarkan dan uang yang masuk seperti dalam Tabel I.
Kita lihat
dalam Tabel I tersebut bahwa kelebihan uang tunainya sebesar Rp. 82,63
trilyun. Ketika itu Pemerintah sudah teriak bahwa kekurangan uang dalam
APBN dan minta mandat dari DPR supaya diperbolehkan menggunakan uang
APBN sebesar lebih dari Rp. 100 trilyun, yang disetujui oleh DPR.
Dalam Tabel
II saya mengakomodir pikiran teoretis dari Pemerintah yang mengatakan
bahwa Pertamina harus membeli minyak mentahnya dari Menteri Keuangan
dengan harga internasional yang dalam kesepakatan antara Pemerintah dan
Panitya Anggaran US$ 95 per barrel dan nilai tukar ditetapkan Rp. 9.100
per US$.
Seperti
dapat kita lihat, hasilnya memang Defisit sebesar Rp. 122,69 trilyun.
Tetapi uang yang harus dibayar oleh Pertamina kepada Menteri Keuangan
yang sebesar Rp. 205,32 trilyun kan milik rakyat Indonesia juga? Maka
kalau ini ditambahkan menjadi surplus, kelebihan uang yang jumlahnya Rp.
82,63 trilyun, persis sama dengan angka surplus yang ada dalam Tabel I.
MENGAPA?
Mengapa Pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun dalam bentuk puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak.
Mengapa Pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun dalam bentuk puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak.
Sekarang
saya mengulanginya lagi, karena masalahnya sudah menjadi kritis dalam
dua aspek. Yang pertama, kesengsaraan rakyat sudah sangat parah. Kedua,
kenaikan harga BBM lagi bisa memicu kerusuhan sosial. Kali ini jangan
main-main. Semoga saya salah.
PIKIRAN BINGUNG YANG ZIG-ZAG
Ketika harga
BBM di tahun 2005 dinaikkan dengan 126%, bensin premium menjadi Rp.
4.500 per liter. Ketika itu, harga bensin ini ekivalen dengan harga
minyak mentah sebesar US$ 61,5 per barrel.
Pemerintah
mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi,
karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah
yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile
Exchange. Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu
harga minyak mentah US$ 60 per barrel.
Ketika harga
minyak mentah turun sampai sekitar US$ 57 dan Wapres JK ditanya
wartawan apakah harga BBM akan diturunkan, beliau menjawab “tidak”.
Lantas harga minyak meningkat sampai US$ 80. Wartawan bertanya lagi
kepadanya, apakah harga BBM akan dinaikkan? Dijawab : “Tidak, dan tidak
akan dinaikkan walaupun harga minyak mentah meningkat sampai US$ 100 per
barrel.”
Lantas
Presiden mengumumkan bahwa kalau harga minyak sudah US$ 120 pemerintah
akan kekurangan uang untuk memberikan subsidi kepada rakyatnya dalam
jumlah besar, sehingga APBN akan jebol. Maka terpaksa menaikkan harga
BBM pada akhir Mei dengan sekitar 30 %. Jadi sangatlah jelas bahwa
Presiden menganggap subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus
dikeluarkan oleh Pemerintah.
Pada tanggal 13 Mei jam 22.05 Metro TV menayangkan Today’s Dialogue, di mana Wapres Jusuf Kalla mengakui bahwa pemerintah akan kelebihan uang, yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur.
Jadi dalam
pengadaan BBM pemerintah kekurangan uang karena harus memberikan
subsidi, atau kelebihan uang yang akan dipakai untuk membangun
infrastruktur?